Menarik saat Sahabat Blogger menyimak keberatan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atas kebijakan mobil murah. Produk yang lahir melalui Peraturan Menteri Perindustrian itu memang pantas dikritisi karena aneh. Mengapa?
Kebijakan mobil murah dan ramah lingkungan atau LCGC, sesuai aturan, mensyaratkan harga jualnya tidak lebih dari Rp95 juta. Kalaupun ada penyesuaian harga, maksimum 15 persen. Selain itu, bahan bakar yang digunakan memiliki kadar oktan minimum 92 alias tidak didesain menggunakan bahan bakar bersubsidi.
Hampir semua merek mobil yang beredar di Indonesia dipastikan punya produk andalan mobil murah. Kisaran harganya mulai dari Rp70-an juta. Selama ini, dengan alokasi dana seperti itu, tentu Anda hanya bisa dapat kendaraan bekas. Tapi kali ini, produk baru plus iming-iming irit, yaitu satu liter berdaya tempuh 20 kilometer.
Dengan harga tergolong murah, tingkat permintaan terhadap produk mobil murah bakal tinggi. Dampaknya mudah ditebak, jalan-jalan Jakarta yang sudah macet bakal makin padat. Sesak.
Karena itu, sebagai kepala daerah, keberatan Joko Widodo – biasa disapa Jokowi - masuk di akal. Apalagi, salah satu tugas yang mesti ia selesaikan adalah mengatasi kemacetan jalan di Ibu Kota. Bakal maraknya tambahan kendaraan yang dipicu oleh mobil murah bukan sekadar menghambat pengentasan kemacetan, malah menggagalkan.
Maka kebijakan tersebut terasa aneh. Ada sejumlah alasan yang bisa dilihat. Pertama, seperti keberatan Jokowi, upaya mengatasi kemacetan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebenarnya sudah sampai melibatkan pemerintah pusat. Bahkan pada 2010, Wakil Presiden Boediono mengeluarkan 17 instruksinya sebagai solusi kemacetan. Salah satu yang terpenting adalah pembatasan kendaraan bermotor, terutama di Jakarta. Alasannya, tingginya penjualan kendaraan menjadi sumber masalah baru, yaitu kemacetan dan polusi.
Sekuen implementasi pengentasan kemacetan ini dipimpin oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atau UKP4. Apa boleh buat, rencana baik tersebut dilanggar sendiri oleh pemerintah pusat.
Wapres Boediono pun seperti tak bisa berbuat apa-apa, karena suaranya nyaris tak terdengar. Jadi lumrah jika Jokowi ikut mengingatkannya melalui surat yang dikirim.
Keanehan kedua, Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan, setiap disodori data defisit perdagangan selalu berusaha menukas. Impor minyak dan gas bumi dijadikan alasan sebagai faktor utama penyebab defisit tersebut.
Bahkan, ketika defisit perdagangan mencatat sejarah terbesar sepanjang sejarah, yaitu pada Juli lalu, penyebab utamanya adalah migas. Defisitnya, sepanjang Januari-Juli, sebesar $7,6 miliar.
Efek lanjutan dari defisit ini tentu saja besar. Terutama seperti yang terjadi sekarang, rupiah mencatat rekor baru. Nilai tukarnya terhadap dolar AS jadi paling rendah di kawasan Asia.
Dengan makin banyaknya jumlah kendaraan – akibat dorongan pemerintah melalui kebijakannya - tentu meningkatkan kebutuhan bahan bakar. Tapi mungkin, sensitivitas terhadap defisit perdagangan yang kelak bakal makin besar sudah mulai hilang dari para pengelola negeri ini.
Keanehan ketiga, produsen otomotif yang diawali oleh Astra, sudah punya prototipe mobil murah. Produknya diperkenalkan secara resmi sejak kuartal ketiga tahun lalu dan dihadiri oleh Menteri Perindustrian M.S Hidayat. Padahal, aturannya sendiri baru meluncur pertengahan tahun ini. Produsen otomotif seperti mafhum benar bahwa kebijakan mobil murah memang pasti keluar. Atas alasan itu, mereka sudah memproduksi lebih dulu.
Seperti itulah wajah pemerintah di alas mobil murah. Tentu banyak alasan yang bisa digunakan untuk bersilat. Namun keberatan Jokowi sungguh menarik karena menyiratkan hal selain soal kemacetan: ke mana Wapres Boediono - yang biasa mengurusi masalah ekonomi - dalam kebijakan mobil murah ini?
Sumber: NEWS ROOM Yahoo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar